Syarat-Syarat Jadi Pemimpin
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَ اللهِ : اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: ((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ)).
Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah Subhanahu
wata'ala,
Suatu
ketika, sahabat Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, tidakkah
engkau menjadikan aku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaan Abu Dzar
tersebut, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menepuk pundak Abu Dzar
seraya bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْف وَإِنَّهَا أَمَانَة
وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَة إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا
بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا
“Wahai Abu
Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Dan
nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang
yang melaksanakannya dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia
tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (H.r.
Muslim)
Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah Subhanahu wata'ala,
Abu Dzar al-Ghifari adalah
seorang sahabat mulia dan termasuk dalam as-Sabiqun al-Awwalun (sahabat-sahabat
yang pertama masuk Islam). Menurut Khalid Muhammad Khalid di dalam kitabnya
yang berjudul رِجَالٌ حَوْلَ الرَّسُوْل (Karakteristik Perihidup 60
Sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam), Abu Dzar adalah sahabat
ke-enam yang masuk Islam di Makkah. Sedangkan keutamaan sahabat Abu Dzar
al-Ghifari, diantaranya disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam:
مَا أَقَلَّتْ الْغَبْرَاءُ وَلَا أَظَلَّتْ
الْخَضْرَاءُ مِنْ رَجُلٍ أَصْدَقَ لَهْجَةً مِنْ أَبِي ذَرٍّ
“Tiada satupun di antara
makhluk, yang dinaungi oleh langit dan dipangku oleh bumi, yang lebih jujur dan lebih setia (kepada janji dan ucapannya) daripada Abu Dzar” (Hr. Ibn Majah, Ahmad dan Ibn Abi Syaibah, shahih)
Tetapi mengapa Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam menyebut sahabat Abu Dzar al-Ghifari dengan kalimat: “Innaka dho’if” (Sesungguhnya kamu ini
lemah)? Kalimat itu bukanlah menunjukkan kelemahan iman Abu Dzar, tetapi
menunjukkan bahwa kekuasaan dan kepemimpinan bukanlah amanah yang mudah
baginya. Keimanan Abu Dzar al-Ghifari tanpa diimbangi kesempurnaan
syarat-syarat kepemimpinan akan mendatangkan fitnah buat dia, yaitu kehinaan
dan penyesalan kelak di hari kiamat.
Lalu, apa syarat-syarat kepemimpinan yang
menghindarkan seseorang dari kehinaan dan penyesalan di hari kiamat?
Yang pertama; seseorang mendapatkan amanah jabatan
sesuai dengan haknya, bukan dengan merebut hak orang lain. Ambisi terhadap jabatan bisa membuat
seseorang melakukan apa saja untuk mendapatkannya, walaupun harus
dengan cara merampas hak orang lain. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam menolak untuk memberi jabatan kepada seseorang yang meminta atau
seseorang yang berambisi terhadap jabatan. Sahabat Abu Musa al-Asy’ari pernah
meriwayatkan, bahwa suatu saat ia menemui Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam bersama dua orang dari keluarga pamannya. Salah seorang dari
mereka berkata, “Wahai Rasulullah, angkatlah kami untuk mengurusi sebagian dari
apa yang telah Allah kuasakan kepadamu.” Ternyata yang satu lagi juga berkata seperti itu. Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ
أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya kami, demi Allah
tidak akan menyerahkan jabatan ini kepada seorang pun yang memintanya, atau
seorang berambisi untuk mendapatkannya.” (Hr. al-Bukhari dan
Muslim).
Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah Subhanahu wata'ala,
Seseorang yang berambisi
terhadap jabatan dan sangat menginginkannya akan berusaha dengan cara apapun untuk
mendapatkannya. Semua cara dipakai tanpa memedulikan apakah halal atau haram.
Ia tidak peduli jika harus mendzalimi atau merampas hak orang lain. Maka orang
itu akan menjalankan politik kebohongan, intimidasi, politik uang, adu domba,
perbuatan anarki dan seluruh cara kotor lainnya. Ia tidak memikirkan kerusakan
yang terjadi sebagai dampak dari perbuatannya. Ambisi untuk memperoleh
kekuasaan membutakan matanya, menutup hatinya, dan mematikan nuraninya.
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam berpesan kepada sahabat Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Samurah
agar tidak berambisi terhadap kekuasaan. Beliau bersabda:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَة
فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ
أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta
kekuasaan, karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya,
kekuasaan itu akan dibebankan kepadamu, tapi jika engkau diberi kekuasaan tanpa
memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya.” (H.r. al-Bukhari
dan Muslim).
Termasuk dalam kategori
orang yang tidak berhak mendapatkan jabatan adalah orang yang tidak mempunyai
kapasitas untuk memimpin. Apa kurangnya keimanan dan kezuhudan sahabat Abu Dzar
al-Ghifari? Beliau adalah sahabat yang sangat jujur, tawadhu’ dan zuhud. Beliau
berhasil meng-Islamkan separuh kabilahnya dan membawa mereka berbai’at kepada
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Beliau merupakan salah seorang
ulama dari kalangan sahabat yang menjadi rujukan generasi sesudahnya. Akan
tetapi, Rasulullah tidak melihat karakter kepemimpinan dalam diri Abu Dzar,
maka beliau tidak memberikan kepadanya. Dan karena masih ada sahabat lain yang
lebih berkapasitas untuk menduduki jabatan tersebut. Maka sifat-sifat mulia dan
ketakwaan saja tidak cukup untuk menjadi seorang pemimpin. Diperlukan kapasitas
keilmuan yang cukup, wawasan, keteladanan, kekuatan dan karakter leadership
yang kuat.
Dalam konteks ini pula,
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melarang kaum Muslimin memilih pemimpin yang bodoh
dan dungu, sebagaimana nasihat beliau kepada sahabat Ka’ab Bin Ujrah.
Rasulullah bersabda: “Semoga Allah
melindungimu dari para pemimpin yang bodoh (dungu)”. Ka’ab bin ‘Ujrah
bertanya: “Siapakah pemimpin yang dungu
wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjawab:
أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ
بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي. فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ
وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ
وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي
“Mereka
adalah para pemimpin yang hidup sepeninggalku. Mereka tidak pernah berpedoman
pada petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku. Barang siapa yang membenarkan
kedustaan mereka ataupun mendukung atas kezaliman mereka, maka orang itu tidak
termasuk golonganku, karena aku bukanlah orang seperti itu. Mereka juga tidak
akan mendapatkan air minum dari telagaku” (H.r. Ahmad).
Oleh karena itu, kepemimpinan
tidak boleh diberikah kepada orang yang tidak memenuhi syarat. Jika kepemimpinan diamanahkan
kepada orang yang tidak berkapasitas, maka yang terjadi adalah kehancuran
sebuah negeri. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ
أَهْلِهَا فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila amanah telah
disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Sahabat bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanat?’ Beliau menjawab,
‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya
hari kiamat’.” (H.r. al-Bukhari)
Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah Subhanahu wata'ala,
Syarat kedua supaya kepemimpinan tidak menjadi kehinaan dan penyesalan di
hari kiamat adalah memberikan hak
kepada pemilik hak tersebut.
Terpenuhinya kebutuhan dasar adalah hak bagi rakyat dan merupakan kewajiban
bagi pemimpin untuk memenuhinya. Hak dasar berupa makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan
kesetaraan di depan hukum harus dihadirkan oleh seorang pemimpin bagi masyarakatnya.
Pemimpin harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyatnya,
bukan untuk dirinya atau kelompoknya. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ
أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ
احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ
“Barangsiapa yang diserahi oleh
Allah mengatur kepentingan kaum Muslimin, kemudian ia menjadi penghalang
terpenuhinya hajat dan kepentingan mereka, maka Allah akan menghalanginya
(mendapatkan rahmat) pada saat ia sangat membutuhkannya pada hari kiamat”.(H.r. Abu Dawud dan
at-Tirmidzi)
Selain itu, tidak boleh ada ketimpangan dalam
memenuhi hak masyarakat. Tidak boleh ada keistimewaan yang diberikan
kepada segelintir elit masyarakat yang membuat mereka hidup dalam kemewahan,
sementara sebagian besar masyarakat hidup dalam penderitaan dan kekurangan.
Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam memerintahkan para pemimpin untuk berbuat
adil kepada rakyatnya. Yaitu dengan memperlakukan mereka secara setara, dan
menunaikan hak mereka tanpa pilih kasih. Allah Subhanahu wata'ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ
لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا
تَعْدِلُوا إعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Hai orang-orang yang beriman,
jadilah kalian saksi yang adil karena Allah. Dan janganlah kebencian kalian
terhadap suatu kaum menghalangi kalian berlaku adil. Berlaku adil-lah, karena
perbuatan adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (Q.s. Al-Ma’idah:
8)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِل. وَأَبْغَضَ النَّاسِ
إِلَى اللَّه وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِر
“Sesungguhnya manusia yang
paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di
sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling
dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang
pemimpin yang zalim.” (H.r. At-Tirmidzi)
Semoga Allah Subhanahu wata'ala menghadirkan pemimpin yang
diridhai-Nya yang mampu menghantarkan pada
keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, gemah ripah loh jinawi, tata
tentrem kartaraharjo, baldatun thayibatun wa rabbun ghafur. Aamiin …
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا
فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا
وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ
وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ
Tidak ada komentar