Selamat Datang di Website KUA Kecamatan Teluk Mutiara Kabupaten Alor - Kawasan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK), Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM)

Syarat-Syarat Jadi Pemimpin - KUA KECAMATAN TELUK MUTIARA

Header Ads

Info Terkini

Syarat-Syarat Jadi Pemimpin


 إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَ اللهِ : اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: ((يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ)).        

Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah Subhanahu wata'ala,

Suatu ketika, sahabat Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikan aku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaan Abu Dzar tersebut, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menepuk pundak Abu Dzar seraya bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْف وَإِنَّهَا أَمَانَة وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَة إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا

“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang melaksanakannya dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.”  (H.r. Muslim)

Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah Subhanahu wata'ala,

Abu Dzar al-Ghifari adalah seorang sahabat mulia dan termasuk dalam as-Sabiqun al-Awwalun (sahabat-sahabat yang pertama masuk Islam). Menurut Khalid Muhammad Khalid di dalam kitabnya yang berjudul رِجَالٌ حَوْلَ الرَّسُوْل (Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam), Abu Dzar adalah sahabat ke-enam yang masuk Islam di Makkah. Sedangkan keutamaan sahabat Abu Dzar al-Ghifari, diantaranya disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam:

مَا أَقَلَّتْ الْغَبْرَاءُ وَلَا أَظَلَّتْ الْخَضْرَاءُ مِنْ رَجُلٍ أَصْدَقَ لَهْجَةً مِنْ أَبِي ذَرٍّ

“Tiada satupun di antara makhluk, yang dinaungi oleh langit dan dipangku oleh bumi, yang lebih jujur dan lebih setia (kepada janji dan ucapannya) daripada Abu Dzar” (Hr. Ibn Majah, Ahmad dan Ibn Abi Syaibah, shahih)

Tetapi mengapa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menyebut sahabat Abu Dzar al-Ghifari dengan kalimat: “Innaka dho’if” (Sesungguhnya kamu ini lemah)? Kalimat itu bukanlah menunjukkan kelemahan iman Abu Dzar, tetapi menunjukkan bahwa kekuasaan dan kepemimpinan bukanlah amanah yang mudah baginya. Keimanan Abu Dzar al-Ghifari tanpa diimbangi kesempurnaan syarat-syarat kepemimpinan akan mendatangkan fitnah buat dia, yaitu kehinaan dan penyesalan kelak di hari kiamat.

Lalu, apa syarat-syarat kepemimpinan yang menghindarkan seseorang dari kehinaan dan penyesalan di hari kiamat?

Yang pertama; seseorang mendapatkan amanah jabatan sesuai dengan haknya, bukan dengan merebut hak orang lain. Ambisi terhadap jabatan bisa membuat seseorang melakukan apa saja untuk mendapatkannya, walaupun harus dengan cara merampas hak orang lain. Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menolak untuk memberi jabatan kepada seseorang yang meminta atau seseorang yang berambisi terhadap jabatan. Sahabat Abu Musa al-Asy’ari pernah meriwayatkan, bahwa suatu saat ia menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersama dua orang dari keluarga pamannya. Salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah, angkatlah kami untuk mengurusi sebagian dari apa yang telah Allah kuasakan kepadamu.” Ternyata yang satu lagi juga berkata seperti itu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya kami, demi Allah tidak akan menyerahkan jabatan ini kepada seorang pun yang memintanya, atau seorang berambisi untuk mendapatkannya.” (Hr. al-Bukhari dan Muslim).

Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah Subhanahu wata'ala,

Seseorang yang berambisi terhadap jabatan dan sangat menginginkannya akan berusaha dengan cara apapun untuk mendapatkannya. Semua cara dipakai tanpa memedulikan apakah halal atau haram. Ia tidak peduli jika harus mendzalimi atau merampas hak orang lain. Maka orang itu akan menjalankan politik kebohongan, intimidasi, politik uang, adu domba, perbuatan anarki dan seluruh cara kotor lainnya. Ia tidak memikirkan kerusakan yang terjadi sebagai dampak dari perbuatannya. Ambisi untuk memperoleh kekuasaan membutakan matanya, menutup hatinya, dan mematikan nuraninya.

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam berpesan kepada sahabat Abu Sa’id ‘Abdurrahman bin Samurah agar tidak berambisi terhadap kekuasaan. Beliau bersabda:

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَة فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan, karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya, kekuasaan itu akan dibebankan kepadamu, tapi jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya.” (H.r. al-Bukhari dan Muslim).

Termasuk dalam kategori orang yang tidak berhak mendapatkan jabatan adalah orang yang tidak mempunyai kapasitas untuk memimpin. Apa kurangnya keimanan dan kezuhudan sahabat Abu Dzar al-Ghifari? Beliau adalah sahabat yang sangat jujur, tawadhu’ dan zuhud. Beliau berhasil meng-Islamkan separuh kabilahnya dan membawa mereka berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Beliau merupakan salah seorang ulama dari kalangan sahabat yang menjadi rujukan generasi sesudahnya. Akan tetapi, Rasulullah tidak melihat karakter kepemimpinan dalam diri Abu Dzar, maka beliau tidak memberikan kepadanya. Dan karena masih ada sahabat lain yang lebih berkapasitas untuk menduduki jabatan tersebut. Maka sifat-sifat mulia dan ketakwaan saja tidak cukup untuk menjadi seorang pemimpin. Diperlukan kapasitas keilmuan yang cukup, wawasan, keteladanan, kekuatan dan karakter leadership yang kuat.

Dalam konteks ini pula, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melarang kaum Muslimin memilih pemimpin yang bodoh dan dungu, sebagaimana nasihat beliau kepada sahabat Ka’ab Bin Ujrah. Rasulullah bersabda: “Semoga Allah melindungimu dari para pemimpin yang bodoh (dungu)”. Ka’ab bin ‘Ujrah bertanya: “Siapakah pemimpin yang dungu wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menjawab:

أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي. فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي

“Mereka adalah para pemimpin yang hidup sepeninggalku. Mereka tidak pernah berpedoman pada petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku. Barang siapa yang membenarkan kedustaan mereka ataupun mendukung atas kezaliman mereka, maka orang itu tidak termasuk golonganku, karena aku bukanlah orang seperti itu. Mereka juga tidak akan mendapatkan air minum dari telagaku” (H.r. Ahmad).

Oleh karena itu, kepemimpinan tidak boleh diberikah kepada orang yang tidak memenuhi syarat. Jika kepemimpinan diamanahkan kepada orang yang tidak berkapasitas, maka yang terjadi adalah kehancuran sebuah negeri. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:

إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهَا فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanat?’ Beliau menjawab, ‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat’.” (H.r. al-Bukhari)

Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah Subhanahu wata'ala,

Syarat kedua supaya kepemimpinan tidak menjadi kehinaan dan penyesalan di hari kiamat adalah memberikan hak kepada pemilik hak tersebut. Terpenuhinya kebutuhan dasar adalah hak bagi rakyat dan merupakan kewajiban bagi pemimpin untuk memenuhinya. Hak dasar berupa makanan,  pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kesetaraan di depan hukum harus dihadirkan oleh seorang pemimpin bagi masyarakatnya. Pemimpin harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyatnya, bukan untuk dirinya atau kelompoknya. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ

“Barangsiapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum Muslimin, kemudian ia menjadi penghalang terpenuhinya hajat dan kepentingan mereka, maka Allah akan menghalanginya (mendapatkan rahmat) pada saat ia sangat membutuhkannya pada hari kiamat”.(H.r. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

 Selain itu, tidak boleh ada ketimpangan dalam memenuhi hak masyarakat. Tidak boleh ada keistimewaan yang diberikan kepada segelintir elit masyarakat yang membuat mereka hidup dalam kemewahan, sementara sebagian besar masyarakat hidup dalam penderitaan dan kekurangan. Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  memerintahkan para pemimpin untuk berbuat adil kepada rakyatnya. Yaitu dengan memperlakukan mereka secara setara, dan menunaikan hak mereka tanpa pilih kasih. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا إعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian saksi yang adil karena Allah. Dan janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum menghalangi kalian berlaku adil. Berlaku adil-lah, karena perbuatan adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (Q.s. Al-Ma’idah: 8)

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِل. وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّه وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِر

“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (H.r. At-Tirmidzi)

Semoga Allah Subhanahu wata'ala menghadirkan pemimpin yang diridhai-Nya yang mampu menghantarkan pada keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kartaraharjo, baldatun thayibatun wa rabbun ghafur. Aamiin …

 

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ

Tidak ada komentar